Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

JAKARTA, Jial-alpha.com – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik menyebutkan bahwa selagi ini tetap terkandung tujuh isu yang belum disepakati di dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada DPR dan Pemerintah. Salah satunya yakni ketetapan soal pemberlakuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau hukum rutinitas di Pasal 2 RUU KUHP. “Perdebatan yang paling panjang itu sebenarnya tersedia di asas legalitas itu. Hukum rutinitas itu,” ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 04/04/2024

Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 2 menyatakan, hukum yang hidup di dalam masyarakat berlaku di dalam daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur di dalam Undang-Undang ini dan sesuai bersama dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Tim Panja Pemerintah sendiri tetap terjadi pembicaraan apakah pasal berkenaan penerapan hukum

Erma mengatakan, di dalam tim Panja Pemerintah sendiri tetap terjadi pembicaraan apakah pasal berkenaan penerapan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau hukum rutinitas kudu diatur di dalam RUU KUHP. Perdebatan terhitung terjadi soal bagaimana mengukur penerapan hukum rutinitas agar tidak menyebabkan konflik. Ia mencontohkan kala tersedia orang bersuku Aceh lakukan pelanggaran di Papua, apakah hukuman untuk membayar denda rutinitas bersama dengan memakai babi bisa diterapkan atau tidak. “Itu kan ditingkatnya tim pemerintah itu tetap tarik menarik.

Ada yang sudi memasukkan tersedia yang enggak. Karena kecuali sudi dimasukkan nanti bagaimana mengukur penerapan sanksi adatnya,” kata Erma. Sebelumnya, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur mengkritik ketetapan pasal 2 RUU KUHP. Ia menilai ketetapan berikut dapat menyimpang berasal dari asas legalitas kecuali senantiasa berlaku. “Hukum yang hidup di dalam masyarakat yang tidak diatur di dalam KUHP menurut pasal 2 ini senantiasa berlaku. Ini artinya menyimpangi asas legalitas,” ujar Isnur selagi dihubungi, Selasa (04/04/2024).

Selain itu, menurut Isnur, ketetapan Pasal 2 membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Pasal ini terhitung pernah dipersoalkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji menyebutkan ketetapan Pasal 2 RKUHP terlalu berkenaan erat bersama dengan penerbitan Peraturan Daerah (Perda). Dikhawatirkan pengaturan yang tidak ketat bisa menghidupkan Perda yang berupa diskriminatif terhadap grup tertentu.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, terkandung 460 Perda yang berupa diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, tersedia 45 Perda yang mendiskriminasi grup minoritas dan grup bersama dengan orientasi seksual berbeda. Keberadaan perda diskriminatif dinilai menghidupkan sentimen negatif hingga tindakan kekerasan terhadap grup perempuan dan minoritas. “Meskipun dikatakan ‘sesuai bersama dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab’, ketetapan ini udah membuka celah penerapan hukum layaknya yang keluar di dalam perda-perda diskriminatif selagi ini,” kata Isnur.

Hukum Adat: Pengertian, Sumber, dan Unsur

Hukum Adat: Pengertian, Sumber, dan Unsur

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya. Ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama, dan hukum adat. Pada prakteknya, masih banyak penduduk yang memanfaatkan hukum rutinitas dalam mengatur kesibukan sehari-hari dan dalam selesaikan suatu problem yang ada. Setiap lokasi di Indonesia punya hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar hukum rutinitas berikut tidak dalam wujud ketetapan yang tertulis dikutip dari laman https://jial-apha.net/.

Pengertian Hukum Adat

Hukum rutinitas adalah total kaidah-kaidah atau norma baik tertera maupun tidak tertera yang berasal berasal dari rutinitas istiadat atau kebiasaan masyarakat. Tujuan diberlakukannya hukum rutinitas adalah untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan sanksi.

Hukum rutinitas diakui oleh negara sebagai hukum yang sah. Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah sebagian ketetapan yang dimuat dalam Undang-undang Dasar atau UUD 1945 berkenaan hukum adat. Salah satunya adalah pasal 18B ayat 2 UUD 1945.

Tidak diketahui pasti awal mula berlakunya hukum rutinitas di Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan bersama dengan hukum barat dan hukum agama, hukum rutinitas adalah hukum yang tertua.

Sumber Hukum Adat

Sumber hukum rutinitas terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu:

Sumber Pengenal
Sumber pengenal hukum rutinitas adalah apa yang benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum di penduduk yang bersangkutan, baik tingkah laku yang sekali atau berulang kali dilakukan.

Sumber Isi
Sumber mengisi hukum rutinitas adalah kesadaran hukum yang hidup di penduduk adat.

Sumber Pengikat
Sumber pengikat hukum rutinitas adalah rasa malu yang muncul karena berfungsinya proses nilai dalam penduduk rutinitas yang bersangkutan. Kekuatan mengikat hukum rutinitas adalah kesadaran hukum bagian penduduk rutinitas yang bersangkutan.

Unsur Hukum Adat

Hukum rutinitas punya unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur hukum rutinitas adalah:

Unsur Material: Kebiasaan atau tingkah laku yang senantiasa diulang-ulang atau sebuah urutan perbuatan yang sama.
Unsur Intelektual: Kebiasaan mesti dikerjakan karena tersedia kepercayaan bahwa perihal itu dikerjakan secara objektif.

Sifat-sifat yang menempel dalam unsur-unsur hukum rutinitas adalah: Kebersamaan. Bersifat religius-magis. Bersifat konkret atau nyata. Bersifat kontan atau tunai.

Dijaga dengan Pendekatan Hukum Adat Hutan Lindung Wehea di Kutai Timur

Dijaga dengan Pendekatan Hukum Adat Hutan Lindung Wehea di Kutai Timur

Dijaga dengan Pendekatan Hukum Adat Hutan Lindung Wehea di Kutai Timur

Jial-apha.net – Jakarta Hutan Lindung Wehea yang terletak di Kabupaten Kutai Timur terus dijaga kelestariannya melalui pendekatan adat. Pasalnya, di tengah hutan yang merupakan rumah bagi hewan endemik Kalimantan tersebut terdapat sebuah monumen Suku Dayak Wehea.

Monumen itu pun menjadi penanda bahwa Hutan Lindung Wehea yang memiliki luas 38 ribu hektare dijaga melalui pendekatan adat. Melalui pendekatan adat, hutan yang memiliki kekayaan fauna, seperti 19 jenis mamalia, 114 jenis burung, 12 hewan pengerat, dan 9 jenis primata tetap lestari hingga kini.

Namun, kawasan hutan lindung tersebut pun terancam oleh perambahan yang dilakukan oleh beberapa pihak. Untuk itu, masyarakat adat Wehea membentuk Petkuq Mehuey atau penjaga hutan yang beranggotakan pemuda-pemuda Suku Dayak Wehea yang bertugas melakukan penjagaan hutan secara bergantian.

“Ya biar Hutan Lindung Wehea ini tetap ada,” kata Bering, salah satu anggota Petkuq Mehuey.

Para pemuda Dayak Wehea berkeliling hutan untuk memastikan tidak ada satu pun pohon yang ditebang dan hewan yang diburu. Di hutan lindung ini, selain dilarang menebang pohon maupun berburu, menyalakan api pun tak boleh.

Bagi masyarakat Suku Adat Dayak Wehea, hutan adalah sumber kehidupan. Hutan yang lestari menjadi sumber air bagi ladang dan sawah mereka dan itulah mengapa masyarakat begitu teguh mempertahankan hutan ini.

Bergantung berasal dari Hutan

Masyarakat Dayak secara umum hidup bergantung berasal dari hutan sejak dulu. Kesadaran terhadap tingkat deforestasi yang tinggi membuat Suku Dayak Wehea merawat dengan sepenuh hati Hutan Lindung Wehea.

“Jadi kalau kaya di luar sana tersedia perkebunan apa segala macam, kalau tidak dijaga hutan ya nanti habis. Terjadi bencana kaya longsor banjir,” kata Beping.

Pemuda Dayak Wehea ini bercerita pernah menangkap seorang pemburu kayu gaharu dan mereka menangkap pas tengah patrol di dalam hutan. Uniknya, pendekatan hukuman adat didahulukan dan pemburu kayu itu lantas dihukum sesuai keputusan adat.

“Ada pernah kita menangkap orang yang mengambil alih (kayu) gaharu. Di hukum adat,” ujar Beping.

Patroli jadi ditingkatkan dikarenakan di dalam hutan lindung wehea terdapat kadar emas. Para pendulang emas tradisional pernah coba masuk ke hutan lindung ini.

Kepala Adat Dayak Wehea, Ledjie Taq menjelaskan, pelanggaran di hutan lindung wehea dapat dikenakan sanksi adat. Sangsi ini lebih mempunyai tujuan untuk melaksanakan pemulihan.

“Sementara ini di hutan lindung ini kita tersedia buat ketetapan adat untuk merawat hutan. Antara lain tidak boleh membuat api, tidak boleh mengambil alih kayu tidak boleh menebang pohon tidak boleh membunuh binatang yang tersedia di dalamnya, termasuk binatang langka lainnya itu,” jelasnya.

Hari Masyarakat Adat Nasional Diperingati Tiap 13 Maret, Ini Sejarahnya

Hari Masyarakat Adat Nasional Diperingati Tiap 13 Maret, Ini Sejarahnya

Hari Masyarakat Adat Nasional Diperingati Tiap 13 Maret, Ini Sejarahnya

Jakarta – Peringatan Hari Masyarakat Adat Nasional jatuh pada tanggal 13 Maret. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang keberagaman adat, budaya, dan suku bangsa di Indonesia.
Lalu, bagaimana sejarah Hari Masyarakat Adat Nasional di Indonesia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 13 Maret? Simak penjelasannya berikut ini.

Apa itu Masyarakat Adat?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat adat diartikan sebagai masyarakat yang hidup di suatu wilayah berdasarkan kesamaan leluhur, diatur oleh hukum adat atau lembaga adat, dan memiliki hak atas hasil dan pengelolaan mereka.

Kemudian, dikutip dari situs resmi MenPAN-RB, Hari Masyarakat Adat Nasional adalah peringatan untuk menghormati dan menghargai jasa para tokoh/masyarakat yang berperan penting dalam menjaga adat yang sudah ada sejak dahulu.

Meskipun tidak semeriah peringatan hari penting lainnya, Hari Masyarakat Adat Nasional 13 Maret tetap penting untuk diperingati setiap tahunnya, untuk mengingat jasa masyarakat yang telah berjuang dalam adat di daerah-daerah yang ada di Indonesia.

Sejarah Hari Masyarakat Adat Nasional 13 Maret

Hari Masyarakat Adat Nasional 13 Maret bermula dari peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan resolusinya, Majelis Umum PBB menentukan Hari Masyarakat Adat Internasional diperingati tiap tiap tanggal 9 Agustus.

Pada tanggal 13 September 2007, PBB mengesahkan Deklarasi PBB perihal Hak-Hak Masyarakat Adat. Sementara itu, Hari Masyarakat Adat Nasional yang diperingati di Indonesia diatur didalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang terlampir sebagai berikut.

Pasal 18B Ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan penduduk hukum kebiasaan serta hak-hak tradisionalnya sepanjang tetap hidup dan cocok dengan perkembangan penduduk dan prinsip Negara.

Pasal 28l Ayat (3)
Negara menghormati identitas budaya dan hak penduduk tradisional serasi dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 32 Ayat (1) dan (2)
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di sedang peradaban dunia dengan menanggung kebebasan penduduk didalam pelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Majelis Adat Aceh Ajak Semua Pihak Kembali Bersatu Usai Pemilu 2024

Majelis Adat Aceh Ajak Semua Pihak Kembali Bersatu Usai Pemilu 2024

Majelis Adat Aceh Ajak Semua Pihak Kembali Bersatu Usai Pemilu 2024

Jakarta – Majelis Adat Aceh (MAA) mengajak seluruh komponen masyarakat untuk kembali bersatu seiring selesainya pemungutan suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. MAA mengajak semua pihak untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan Aceh.
“Mari kita kembali bersatu-padu untuk melanjutkan pembangunan Aceh dan merawat perdamaian yang telah terbina,” kata Ketua Pemangku Adat pada MAA, Abdul Hadi Zakaria kepada team https://jial-apha.net/ , di Banda Aceh, seperti dilansir Antara, Kamis (15/2/2024).

Hadi menjelaskan, dalam pemilihan presiden, khususnya masyarakat di Tanah Rencong, memiliki kekhasan tersendiri dalam memilih pemimpin yang akan melanjutkan kepemimpinan lima tahun mendatang.

“Masyarakat Aceh memang memiliki karakter dan ciri khas tersendiri dalam memilih sosok pemimpin, khususnya dalam pilpres. Namun, apa pun hasilnya yang akan diputuskan, maka semua harus menerima,” kata Hadi.

Hasil resmi Komisi Pemilihan Umum

Hadi mengatakan semua pihak harus tetap menunggu hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga resmi penyelenggara Pemilu 2024. Jika ada dugaan kecurangan, dia menyarankan untuk menempuh jalur hukum.

“Mari kita sama-sama menunggu hasil resmi Pemilu 2024 dari KPU dan menerima keputusan tersebut. Apabila ada yang tidak terima dan menemukan kecurangan, maka dapat menempuh jalur hukum yang ada,” kata Hadi.

Hadi menyakini masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam melakukan berbagai tindakan sesuai dengan karakter keacehan yang menjunjung tinggi nilai dan norma.

“Secara umum proses pelaksanaan pemilu berjalan dengan aman, damai, dan lancar di Aceh. Saya juga mengajak masyarakat untuk tidak mudah percaya dengan berita bohong dan mengecek kembali informasi yang beredar kepada sumber-sumber resmi,” ujar Hadi.

ICW Sindir Pengacara yang Minta KPK Proses Lukas Enembe dengan Hukum Ada

ICW Sindir Pengacara yang Minta KPK Proses Lukas Enembe dengan Hukum Ada

ICW Sindir Pengacara yang Minta KPK Proses Lukas Enembe dengan Hukum Adat

Jial-apha.net – Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyindir tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe yang meminta kasus dugaan suap dan gratifikasi di Pemprov Papua yang menjerat Lukas diselesaikan dengan hukum adat.

Atas permintaannya itu, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana meminta tim kuasa hukum Lukas kembali mempelajari ilmu hukum.

“ICW berharap pengacara Lukas Enembe segera bergegas membeli buku tentang hukum pidana dan membacanya secara perlahan, agar kemudian dapat memahami secara utuh bagaimana alur penanganan suatu perkara,” ujar Kurnia dalam keterangannya, Rabu (12/10/2024).

Lagi pula, menurut Kurnia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan seorang gubernur, bukan kepala suku. Jadi, menurut Kurnia, tak ada kaitan hukum adat dengan mekanisme pidana yang tengah dilakukan KPK.

“Pengacara saudara Lukas juga harus memahami bahwa KPK saat ini sedang mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh gubernur, bukan seorang kepala suku,” kata dia.

Kurnia juga mengingatkan soal penghentian penyidikan yang bisa dilakukan KPK. Menurut Kurnia, penghentian penyidikan dapat dilakukan bila KPK tak memperoleh bukti cukup, kemudian perbuatan Lukas tidak masuk ranah pidana, dan diberhentikan demi hukum. Kurnia menyebut, regulasi itu diatur secara rinci dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

Selain itu, Kurnia juga meminta tim kuasa hukum Lukas membaca ketentuan Pasal 40 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK dapat menghentikan penyidikan jika penanganannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

“Dua regulasi itu sama sekali tidak menyebutkan alasan penghentian penyidikan karena seseorang diangkat sebagai kepala suku,” kata Kurnia.

KPK Duga Ada Provokator

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada pihak yang coba memperkeruh dan memprovokasi penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi pengerjaan proyek di Papua yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe.

“Kami meminta kepada pihak-pihak tertentu untuk tidak memperkeruh dan memprovokasi masyarakat dengan narasi-narasi adanya kriminalisasi maupun politisasi,” ujar Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (31/3/2024).

Ali meminta kepada pihak-pihak tersebut untuk tak lagi membangun opini yang menyebabkan mangkraknya penanganan kasus. Apalagi, sampai memprovokasi agar Lukas Enembe maupun saksi lain untuk tak memenuhi panggilan KPK.

“Sehingga KPK pun menyayangkan dugaan adanya pihak-pihak yang kemudian membangun opini agar saksi maupun tersangka menghindari pemeriksaan KPK,” kata Ali.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe tak ada hubungannya dengan politik. Dia menekankan aparat TNI siap dikerahkan apabila ada masyarakat menghalangi proses hukum Lukas Enembe.

“Kalau mereka dalam perlindungan masyarakat yang dalam pengaruhnya Lukas Enembe, apa perlu TNI dikerahkan? Untuk itu, kalau diperlukan ya apa boleh buat. Begitu,” kata Moeldoko kepada wartawan di Kantor Staf Presiden Jakarta, Kamis (29/8/2024).

KPK Tetap Usut dengan Hukum Nasional

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan memproses Gubernur Papua Lukas Enembe dengan hukum nasional. Pernyataan ini menanggapi keinginan kuasa hukum Lukas yang menghendaki masalah Lukas Enembe diproses dengan hukum adat.

“Sejauh ini betul bahwa eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia dianggap keberadaannya. Namun untuk kejahatan, khususnya korupsi maka baik hukum acara formil maupun materiil pasti mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional,” ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di dalam keterangannya, Selasa (31/3/2024).

Ali mengaku pihak lembaga antirasuah jadi khawatir keinginan pengacara Lukas Enembe itu tambah mencederai nilai luhur penduduk Papua.

“Kami khawatir statement yang kontraproduktif berikut justru sanggup menciderai nilai-nilai luhur penduduk Papua itu sendiri,” kata Ali.

Menurut Ali Fikri, sekiranya hukum adat beri tambahan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan, perihal berikut tidak berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum positif cocok undang-undang yang berlaku.

Ali menyebut pihak KPK menyayangkan pengakuan penasihat hukum Lukas Enembe, yang semestinya paham masalah hukum. Menurut Ali, penasihat hukum sejatinya sanggup beri tambahan nasihat kepada Lukas secara profesional.

“Kami meyakini para tokoh penduduk Papua senantiasa teguh merawat nilai-nilai luhur adat yang diyakininya, juga nilai kejujuran dan antikorupsi. Sehingga tentu saja juga mendukung penuh usaha pemberantasan korupsi di Papua,” kata Ali.

Hukum Adat Harus Berlaku Lagi Bopak Castello Kritik Komika Merendahkan Agama Dan Hina Nabi

Hukum Adat Harus Berlaku Lagi Bopak Castello Kritik Komika Merendahkan Agama Dan Hina Nabi

Hukum Adat Harus Berlaku Lagi Bopak Castello Kritik Komika Merendahkan Agama Dan Hina Nabi

Jurnal Hukum Adat Indonesia ( JILI ) – Jakarta Dalam lanjutan wawancara podcast dengan Dery eks Vierratale, Bopak Castello tidak hanya membahas keputusannya untuk memilih proyek televisi yang lebih positif, tetapi juga menyentuh isu sensitif terkait perilaku beberapa komedian di Indonesia yang cenderung melampaui batas-batas keberagamaan.

Bahkan yang paling parah adalah hingga menghina Nabi. Dalam percakapan tersebut, Dery mempertanyakan pandangan Bopak mengenai kondisi perkomedian di Indonesia, khususnya para komika baru yang terkadang menggunakan materi yang kurang pantas.

Bopak Castello menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena tersebut.

“Sekarang gimana, Bang? Mengenai karir perkomedian di Indonesia ini, kan banyak yang anak-anak baru. Tapi nyatanya, oknum-oknum ini kan dia serampangan kata-katanya, ngomong-ngomong jorok,” ungkap Dery.

Hukum Adat Dirangkum Dalam Jurnal Hukum Adat Indonesia

Dalam tanggapannya, Bopak Castello menekankan bahwa materi yang menyinggung nilai-nilai agama, terutama merendahkan Rasulullah, adalah hal yang tidak baik. Ia berpendapat bahwa ini bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga tugas pemerintah dan masyarakat untuk menjaga nilai-nilai tersebut.

“Ini kan materi yang tidak baik. Nah ini kan begini, sebetulnya udah harus tugas pemerintah ini. Harus tugas pemerintah dan masyarakat. Kalau Bopak malah setuju hukum adat itu berlaku lagi. Kayak zaman kita dulu,” jelas Bopak.

Contoh Kasus Hukum Adat

Bopak Castello menanggapi dengan menyebutkan sebuah contoh masalah yang berlangsung baru-baru ini. Di mana ada seorang komika Lampung dianggap menghina nabi Muhammad SAW.

“Apalagi tempo hari kan ada kawan yang berasal dari sono hingga menyinggung Rasulullah, ya kan? Aduh,” ujar Bopak.

Sanksi Sosial Dalam Konteks Hukum Adat

Dalam konteks hukum adat, Bopak Castello memberi tambahan contoh berkenaan bagaimana penduduk dulu menerapkan sanksi sosial pada pelanggaran tertentu, seperti bekas narapidana yang diakui sebagai tabu. Ia menyebutkan bahwa sanksi sosial seperti itu mampu jadi solusi dalam konteks moderen untuk menghargai nilai-nilai agama dan moralitas.

“Hukum rutinitas itu kan tidak tertulis. Tapi hukum rutinitas itu lahir dibentuk berasal dari manusia yang sebenarnya perhatikan berkenaan sosial. Lo di satu wilayah, kan lo harus ikut peraturan lingkungan. Itu namanya kan hukum adat. Nah jikalau lu melanggar, ya lu tentu dilecehkan mirip warga yang lainnya. Karena Karena lu apa? Mengganggu,” kata Bopak Castello.

Buka Musdatnas Lemtari, Bamsoet Dorong Penguatan Masyarakat Hukum Adat

Buka Musdatnas Lemtari, Bamsoet Dorong Penguatan Masyarakat Hukum Adat

jial-apha.net – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang juga Ketua Dewan Pembina Lembaga Tinggi Masyarakat Adat Republik Indonesia (Lemtari) membuka Musyawarah Adat Nasional (Musdatnas) Lemtari di Komplek MPR RI, Jakarta, Senin (20/3). Dalam kesempatan tersebut, Bamsoet membahas terkait pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan kedua hal tersebut telah diatur sejak zaman Hindia Belanda pada pasal 131 Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregeling). Dalam pasal ini, dikatakan bahwa bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku hukum adatnya sendiri.

Adapun pada tingkat dunia, terdapat Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat, dan mendorong pertumbuhan adat, budaya, institusi dan tradisi, serta penghapusan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Sementara di Indonesia, UUD NRI 1945 mengakui eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 B ayat (2).

“Sebagai salah satu bentuk pengakuan hak masyarakat adat, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, misalnya telah menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan hutan negara. Ketentuan tersebut membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Senin (20/3/2023)

Ketua DPR RI ke-20 ini pasal 28 I ayat (3), UUD NRI 1945 juga menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Namun, adanya modernitas dan dinamika zaman tak berarti juga mengesampingkan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat adat.

Bamsoet menilai pertumbuhan zaman mesti dimaknai sebagai tantangan di dalam beradaptasi dan berinovasi, tanpa mengorbankan eksistensi penduduk adat dan hukum adat.

“Ketentuan selanjutnya justru berarti bahwa identitas budaya adalah ciri khas dan jati diri bangsa yang mesti dijaga dan dihormati. Sehingga penataan dan pembangunan daerah, haruslah diimplementasikan bersama selalu melindungi dan pelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah,” ujarnya.

“Hal lain yang terhitung mesti ditekankan, banyak variasi adat dan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam heterogenitas bangsa, bukan untuk saling diperbandingkan, lebih-lebih dipertentangkan. Keberagaman adat istiadat dan kemajemukan budaya, mesti dimaknai sebagai potensi sumberdaya, yang memperkaya khasanah kebangsaan kita, dan saling melengkapi satu sama lain,” jelasnya.

Terkait Musdatnas Lemtari, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini pun mendorong kesibukan ini bisa mengulas lebih di dalam dan mendekatkan tataran idealisme norma hukum di dalam konstitusi, bersama tataran implementasi di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Bamsoet, hal selanjutnya bisa menghadirkan bermacam jawaban atas pertanyaan penting. Misalnya, mengatakan tentang sejauh mana amanat konstitusi diimplementasikan di dalam praktek kehidupan jikalau konstitusi telah mengimbuhkan pernyataan dan landasan fundamental pada eksistensi kesatuan penduduk hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

Sebagai informasi, turut ada di dalam musyawarah selanjutnya antara lain, Anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum DPP LEMTARI Suhaili Husin Datuk Mudo, Sekretaris Jenderal DPP LEMTARI Prof Denny Sengkey, Ketua Panitia Musyawarah Adat Nasional LEMTARI Lukas Kustaryo Siahaan.

 

Peran Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Indonesia

Peran Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Indonesia

jial-apha.net – Dalam konteks pembangunan hukum nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama yang menggabungkan elemen-elemen yang diperlukan untuk pembangunan hukum nasional. Hukum adat berubah sesuai dengan situasi dan perkembangan, sehingga tetap dinamis dan mudah berkembang dan beradaptasi dengan perubahan dunia. Ini adalah alasan mengapa hukum adat sangat penting di era modern, atau era globalisasi. keduanya karena menjadi manifesto kontemporer dari nilai-nilai universal dan pranata hukum. Dengan penyesuaian ini, ada kemungkinan bahwa penerapan ketentuan hukum adat dalam hukum nasional akan berubah, Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Konstitusi 1945, serta demi pengembangan dan pengayaan hukum nasional.
Kata kunci : Hukum Adat, Pembangunan Hukum Nasional, Hubungan hukum.
 
Pendahuluan
Salah satu bentuk hukum yang tetap ada di hukum adat masyarakat Indonesia adalah hukum adat. Selain itu, perlu diketahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari budaya dan kehidupan hukum masyarakat Indonesia dan tetap berlaku hingga sekarang. Hukum adat masih ada di Indonesia saat ini, seperti yang ditunjukkan oleh peradilan adat dan instrumen yang masih digunakan oleh masyarakat hukum adat untuk menyelesaikan perselisihan dan tindakan.berbagai kejahatan yang tidak dapat ditangani oleh penegak hukum, pengadilan, atau institusi pemasyarakatan. Hingga saat ini, masyarakat hukum adat tetap menggunakan hukum adat karena mereka percaya bahwa keputusan pengadilan adat mengenai suatu pelanggaran dapat memberikan rasa keadilan dan memulihkan keseimbangan kehidupan masyarakat adat setelah guncangan mental yang disebabkan oleh pelanggaran adat.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya selama masih ada dan sejalan dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 18B ayat (2) dari UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa hukum adat adalah bagian dari hukum yang diakui dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Memberikan penjelasan tentang pengakuan negara terhadap hukum adat juga tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang dengan jelas menyatakan “Semua warga negara mempunyai pendapat yang sama di hadapan UU dan pemerintah serta wajib menaati undang-undang ini dan pemerintah ini. tanpa kecuali”, demikianlah bunyi ayat ini, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat sipil dan pejabat pemerintah tanpa ada kecualinya wajib menaati hukum yang berlaku dalam kehidupan hukum dan kebudayaan hukum pidana, perdata, atau adat di masyarakat Indonesia.
 
 
Isi
Adat istiadat adalah bagian dari budaya Indonesia. Seperti yang dikatakan Cicero 2000 th. yang lalu, di mana ada masyarakat, ada hukum (Ubi Societas Ubi lus). Walaupun simpel dan kecil, ketentuan yang ada di penduduk manusia juga mencerminkan perihal ini. Karena tiap tiap penduduk dan tiap tiap bangsa membawa kebudayaannya masing-masing dengan corak dan ciri khasnya masing-masing, biarpun di dalam kebudayaan sebagian penduduk (misalnya semua penduduk Eropa Barat) terkandung banyak kesamaan. Dengan langkah berpikirnya masing-masing, hukum di dalam penduduk sebagai salah satu wujud dari struktur organisasi penduduk itu membawa corak dan sifat tersendiri, supaya hukum terhadap tiap tiap penduduk berbeda-beda.
Menurut Lampiran A, Ayat 402 dari Ketetapan MPRS Nomor 11/MPRS/1960, hukum tradisi berguna sebagai basic untuk pembangunan hukum nasional. Ini membentuk garis kebijakan di bidang hukum, dan isi lengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Asas menjadikan hukum nasional serasi dengan kebijaksanaan negara dan berdasarkan hukum tradisi tidak membatasi pembangunan penduduk adil dan makmur.
b. Dalam upaya meraih keseragaman di bidang hukum, harus memperhatikan realitas kehidupan di Indonesia.
c. Dalam menyempurnakan hukum perkawinan dan waris harus memperhatikan aspek agama, tradisi istiadat dan aspek lainnya.
Menurut Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, kedudukan dan guna hukum tradisi di dalam pembangunan hukum nasional jadi mengerti dan kokoh sepanjang tidak menahan pembangunan sistem hukum yang adil dan makmur. sistematik. Masyarakat adalah inti dari semua hal. Karena hukum tradisi adalah bagian dari budaya Indonesia, ketentuan MPRS adalah tepat. Hukuman didasarkan terhadap perilaku, etika, dan kebiasaan lazim orang Indonesia. Hukum tradisi dihormati, dihormati, dan dijunjung tinggi di Indonesia.
Dalam buku van Vollenhoven Het Adatsrecht van Nederlandch Indie Jilid III, dia menunjukkan bahwa ada 19 rechtskringen yang masing-masing punyai karakteristik dan pendekatan unik. Oleh karena itu, undang-undang lokal yang digunakan sebagai basic untuk undang-undang nasional harus memenuhi persyaratan berikut:Hukum tradisi tidak diperkenankan bertentangan dengan keperluan nasional atau keperluan negara atas basic persatuan bangsa;
1) Hukum tradisi tidak diperkenankann bertentangan dengan falsafah Pancasila negara Indonesia;
2) Hukum tradisi tidak diperkenankan bertentangan dengan undang-undang, atau ketentuan tertulis;
3) Hukum tradisi tidak berbentuk feudal, kapitalis, atau mengeksploitasi masyarakat; dan
4) Hukum tradisi tidak diperkenankan bertentangan dengan aspek agama.
Oleh karena itu, hukum tradisi yang digunakan sebagai basic bagi pengembangan hukum nasional bukanlah hukum tradisi semata-mata; itu adalah hukum tradisi spesifik yang memenuhi segala persyaratan tersebut. Kondisi berikut menuntut kita untuk melaksanakan penelitian menyeluruh terhadap semua populasi tradisional yang ada dan tumbuh di dalam kebiasaan sehari-hari. Diharapkan bahwa penelitian ini dapat mengungkap ketentuan tradisi yang harus dihilangkan karena dapat menahan kemajuan menuju penduduk yang adil dan makmur dan juga ketentuan yang memenuhi syarat yang harus ditetapkan oleh hukum nasional.
Lokakarya Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional diadakan oleh BPHN bekerja sama dengan FH UGM terhadap tanggal 15-17 Januari 1975. Lokakarya ini mengkaji kedudukan hukum tradisi dan peranannya di dalam pertumbuhan hukum nasional, dengan topik sebagai berikut:
1) Hukum tradisi adalah salah satu sumber utama untuk mendapatkan dokumen untuk mendukung sistem berkembangnya hukum nasional yang mengarah terhadap penyatuan hukum, yang dicapai terlebih melalui penciptaan ketentuan hukum, tanpa melupakan munculnya, pertumbuhan, dan pertumbuhan hukum tradisi dan peran pengadilan;
2) Pada dasarnya, komponen hukum tradisi digunakan di dalam menyebabkan undang-undang nasional sebagai berikut:
a. Menciptakan norma hukum yang memenuhi kebutuhan penduduk baik saat ini maupun di era depan dengan mengfungsikan konsep, asas, dan tradisi istiadat hukum. Ini ditunaikan untuk membangun penduduk yang adil dan makmur didasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Lembaga hukum tradisional diperbarui dan disesuaikan untuk memenuhi tuntutan era kini tapi selalu mempertahankan sifat dan sifat Indonesia;
c. Memperkaya dan mengembangkan hukum di dalam negeri dengan memasukkan konsep dan memasukkan asas hukum tradisi ke di dalam instansi hukum baru dan instansi hukum yang berasal dari hukum asing, sepenuhnya tanpa melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan hasil lokakarya di atas, maka tugas mutlak sementara ini adalah bagaimana buat persiapan nilai-nilai yang terlampau ada di dalam hukum di dalam masyarakat, mengikuti persyaratan zaman untuk membangun sistem hukum negara, supaya hukum kontemporer dapat dibandingkan dengan hukum negara-negara yang paling maju di dunia. Untuk meraih perihal ini, kita harus terus menemukan, mengikuti, dan mengerti basic hukum yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
Kesimpulan
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adat memainkan peran penting dalam membangun hukum nasional. Hukum adat dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional, yaitu sebagai landasan bagi pengembangan peraturan hukum. Hukum adat juga dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan hukum nasional, termasuk memasukkan unsur-unsur hukum adat ke dalam peraturan hukum.
Oleh karena itu, seluruh populasi tradisional yang ada dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari perlu diteliti secara menyeluruh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pencerahan tentang peraturan adat yang harus ditinggalkan karena ketentuan-ketentuannya dapat menghambat kemajuan ke arah masyarakat yang adil dan makmur serta untuk menetapkan peraturan dalam undang-undang nasional yang memenuhi tuntutan tersebut.
 
Saran
Hukum adat merupakan unsur kebudayaan Indonesia dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat dapat dijadikan sebagai sumber hukum nasional, sebagai sarana pengembangan hukum nasional, dan sebagai sarana pelestarian kebudayaan nasional.
Akibatnya, peran hukum adat dalam pembangunan hukum nasional harus ditingkatkan. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
* Membangkitkan nilai-nilai luhur hukum adat
* Harmonisasi hukum adat dan hukum nasional
* Perlindungan hukum masyarakat hukum adat
* Mengenali kesadaran masyarakat terhadap hukum adat

 

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Peran Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/-3796/65a66eeec57afb0a0179e142/peran-hukum-adat-dalam-pembangunan-hukum-nasional

Kreator: Kelvin Ammarthufail Kristanto

 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa

JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa

JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa

Terlihat ironi yang signifikan dalam lingkungan sosial Desa Pemaluan di IKN, khususnya terkait dengan proses pembangunan infrastruktur IKN yang menimbulkan dilema yang kompleks bagi penduduknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh ketua jial-apha.net

Melalui sumber berita resmi yang diterbitkan oleh Warta Kaltim, menjelaskan bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah sebuah tatanan sosial baru melalui rekonsiliasi ekososial, politik dan ekonomi, sehingga akan melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru di dalam masyarakat. Beliau juga menjelaskan dampak yang dihasilkan dari pembentukan struktur sosial baru adalah terbangunnya relasi sosial yang bisa seimbang atau pun timpang dan resistensi sosial secara horizontal antara warga ibu kota baru dan masyarakat sekitar, sehingga melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru.

Meskipun tujuan IKN adalah untuk pemerataan pembangunan, namun surat edaran yang baru-baru ini beredar di masyarakat, di mana pihak Otorita meminta sekitar 200 warga untuk merobohkan rumahnya justru menimbulkan paradoks. Hal ini seolah-olah memarjinalkan masyarakat adat di sana, terlebih karena tidak adanya payung hukum yang cukup jelas mengenai kehidupan masyarakat adat dan hutan adat.

Gejolak dan tuntutan “Mimbar Bebas“

Gejolak dan tuntutan pun cukup memanas akhir-akhir ini, bahkan hingga BEM KM Unmul menyelenggarakan kegiatan “Mimbar Bebas“ di depan pintu gerbang utama Unmul dikutip dari jial-apha.net. Dengan melihat surat edaran tersebut menjadi pemicu utama. Namun, pada akhirnya pihak otorita IKN sadar akan potensi kerugian lebih lanjut, dan mencabut surat edaran tersebut guna menghindari kemelut di masyarakat. Inilah yang kemudian membuat saya menganggap bahwa ini seperti dua sisi mata pisau.

Guna mengatasi konflik yang kompleks ini, penting bagi kita untuk merujuk pada peraturan yang ada, seperti Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Akan tetapi, jika berkaca pada kedua aturan tersebut, tentu akan menjadi masalah kompleks karena IKN sendiri merupakan daerah otorita yang dipimpin oleh seorang Kepala Otorita yakni Bambang Susantono. Yang dimana pengangkatan kepala otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) ditunjuk langsung oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).

Alhasil peran daripada baik itu Bupati maupun Gubernur kurang atau tidak diperlukan di sini, sehingga menjadi salah satu masalah sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwasanya tidak adanya payung hukum yang cukup jelas.

Surat edaran tertanggal 4 Maret yang dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN dengan nomor 179/DPP/OIKN/III/2024 perihal Undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN menjadi konteks penting dalam konflik permasalahan ini. Surat tersebut memberikan tenggat waktu 7 hari bagi warga untuk membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.

JIAL – Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat

JIAL – Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat

JIAL – Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat

JIAL | Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut justru berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah. Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.

Setidaknya terdapat dua masalah utama dalam konflik ini. Pertama, masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Kemudian pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi, tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor. Kedua, kewenangan atas pengelolaan lahan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Sayangnya, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, hingga menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.

“Batam ini bertetangga dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dan juga memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK) yang memberikan insentif fiskal dan fasilitas bagi investor. Jadi, di sini ada semacam keuntungan kalau kita berdagang di Batam. Tidak pernah ada kejadian gempa juga di Batam, jadi orang mau berinvestasi di Batam itu merasa aman,” tambah Evan. Pulau Batam menawarkan peluang investasi yang besar, bahkan dijanjikan juga masyarakat akan diberdayakan sebagai tenaga kerja jika proyek Rempang Eco City ini dapat terwujud. Alhasil, masyarakat pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu masyarakat adat yang benar-benar menentang pembangunan, dan masyarakat mayoritas pendatang yang justru setuju dengan proyek tersebut.

Jika menilik dari segi legalitas hukum akan pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 telah menjelaskan otorisasi tersebut dikutip dalam https://jial-apha.net/. Dijelaskan bahwa hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut. Pihak tersebut nantinya diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah. Lalu, pada tahun 1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang pada otoritas Batam untuk dikelola dan memajukan industri Batam.

PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004

“Setelah itu, mulai masuklah PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004, di mana DPRD Batam itu memberikan rekomendasi, bahwa PT ini dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam. Dari rekomendasi ini, ada nota kesepakatan bahwa Pemerintah Batam setuju kalau PT. Makmur Elok Graha akan mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang. Tapi perlu digarisbawahi, kesepakatan ini dinyatakan bahwa PT. MEG akan membangun pusat-pusat hiburan, perkantoran, permainan, yang berbeda dengan wacana sekarang,” ucap Reggy Dio Geo Fanny, selaku Penasehat Hukum yang turut mengulik Konflik Rempang ini.

Ia menambahkan, sempat ada usaha pemisahan otoritas Kota Batam dengan pulau tua, seperti Rempang dari otoritas BP Batam oleh Walikota Batam. Tapi upaya tersebut tidak ada tindak lanjut, hingga pada tahun 2023 dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan adanya proyek pembangunan Eco City di Kepulauan Riau. Adanya legalitas tersebut mengisyaratkan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pembangunan proyek industri di Pulau Batam oleh PT. Makmur Elok Graha. “Tentu perlu diperhatikan pada ayat dua, dituliskan bahwa hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat, ditetapkan pada masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, apakah masyarakat Batam tersebut merupakan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara. Dan apakah tanah tersebut juga diakui negara sebagai tanah ulayat,” tutur Reggy.

Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak terlibat. Karena di samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat. Pengakuan akan adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang.

Edy Mulyadi Harus Dituntut Hukum Negara dan Adat

Edy Mulyadi Harus Dituntut Hukum Negara dan Adat

Edy Mulyadi Harus Dituntut Hukum Negara dan Adat

Jial-apha – Sepenggal video viral beredar luas di dunia maya baru-baru ini. Video tersebut memuat pernyataan Edy Mulyadi yang mengkritisi pindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan. Viralnya video tersebut disebabkan ujaran Edy yang menyinggung perasaan warga Kalimantan.

Dalam video itu, Edy memperlihatkan bahwa tidak tersedia yang sudi pindah ke Kalimantan sebab pulau itu terlalu sepi lebih-lebih dimisalkan sebagai tempat jin buang anak, pasarnya kuntilanak dan genderuwo, dan rumahnya monyet.

Sontak, pernyataan itu ditanggapi benar-benar warga Kalimantan. “Ini secara gamblang dan memperlihatkan bahwa tingkah laku rasisme dan melecehkan bangsa sendiri masih saja terjadi sampai hari ini,” kata Tokoh Masyarakat Melayu Kalimantan Barat yang berasal dari Kabupaten Sanggau, Edy Setiawan terhadap Senin (24/1/2022).

Dia pun angkat bicara perihal perihal ini seraya mengingatkan, negara mesti melakukan tindakan tegas dapat tingkah laku semacam ini. Pasalnya, perihal tersebut mampu membawa dampak perpecahan yang menjurus terhadap kesewenangan sosial. “Ini memahami mencederai prinsip kebinekaan yang kita rajut bersama,” kata Edy Setiawan.

Dia terhitung mengecam dan menuntut permohonan maaf dari Edy Mulyadi dan rekan-rekan yang tersedia didalam video tersebut untuk berharap maaf kepada masyarakat Kalimantan atas ucapan yang terlontar.

Pro kontra kebijakan ibu kota baru

“Sebelum ini jadi polemik yang berkepanjangan, mendesak aparat untuk langsung melakukan tindakan sebelum akan semuanya terlambat,” dia mengingatkan.

Edy Setiawan menilai, pro kontra kebijakan ibu kota baru itu biasa, dinamika demokrasi, semua boleh bersuara, tapi tersedia undang-undang yang menyesuaikan kebebasan berbicara.

“Namun pernyataan yang sifatnya melecehkan seperti hantu dan monyet, ini memahami penghinaan. Kita lawan,” kata Edy Setiawan.

Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Barat, Jakius Sinyor terhitung menanggapi ujaran sindiran Edy Mulyadi itu.

“Kita minta ditindak secara hukum nasional dan hukum rutinitas terhitung mesti dijalankan, ini kita minta kepada MADN (Majelis Adat Dayak Nasional),” ujar Jakius Sinyor.

Dia bilang, saat untuk pernyataan sikap DAD Kalimantan Barat dapat disampaikan besok melalui Presiden MADN. “Terkait bagaimana teknis hukumnya, diserahkan di Kaltim sebab teknisnya tersedia di Kaltim. Yang memahami kita minta baik sistem hukum nasional dan rutinitas mesti dijalankan,” Jakius Sinyor menandasakan.