October 9, 2024

Jurnal Hukum Adat Indonesia (JIAL) – BERITA

Jurnal Hukum Adat Indonesia (JIAL) online akses terbuka yang menerbitkan artikel penelitian asli, resensi, artikel pendek dan isu-isu di bidang Hukum Adat atau Hukum Adat di Indonesia.

April 3, 2024 | admin

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

JAKARTA, Jial-alpha.com – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik menyebutkan bahwa selagi ini tetap terkandung tujuh isu yang belum disepakati di dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada DPR dan Pemerintah. Salah satunya yakni ketetapan soal pemberlakuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau hukum rutinitas di Pasal 2 RUU KUHP. “Perdebatan yang paling panjang itu sebenarnya tersedia di asas legalitas itu. Hukum rutinitas itu,” ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 04/04/2024

Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 2 menyatakan, hukum yang hidup di dalam masyarakat berlaku di dalam daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur di dalam Undang-Undang ini dan sesuai bersama dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Tim Panja Pemerintah sendiri tetap terjadi pembicaraan apakah pasal berkenaan penerapan hukum

Erma mengatakan, di dalam tim Panja Pemerintah sendiri tetap terjadi pembicaraan apakah pasal berkenaan penerapan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau hukum rutinitas kudu diatur di dalam RUU KUHP. Perdebatan terhitung terjadi soal bagaimana mengukur penerapan hukum rutinitas agar tidak menyebabkan konflik. Ia mencontohkan kala tersedia orang bersuku Aceh lakukan pelanggaran di Papua, apakah hukuman untuk membayar denda rutinitas bersama dengan memakai babi bisa diterapkan atau tidak. “Itu kan ditingkatnya tim pemerintah itu tetap tarik menarik.

Ada yang sudi memasukkan tersedia yang enggak. Karena kecuali sudi dimasukkan nanti bagaimana mengukur penerapan sanksi adatnya,” kata Erma. Sebelumnya, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur mengkritik ketetapan pasal 2 RUU KUHP. Ia menilai ketetapan berikut dapat menyimpang berasal dari asas legalitas kecuali senantiasa berlaku. “Hukum yang hidup di dalam masyarakat yang tidak diatur di dalam KUHP menurut pasal 2 ini senantiasa berlaku. Ini artinya menyimpangi asas legalitas,” ujar Isnur selagi dihubungi, Selasa (04/04/2024).

Selain itu, menurut Isnur, ketetapan Pasal 2 membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Pasal ini terhitung pernah dipersoalkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji menyebutkan ketetapan Pasal 2 RKUHP terlalu berkenaan erat bersama dengan penerbitan Peraturan Daerah (Perda). Dikhawatirkan pengaturan yang tidak ketat bisa menghidupkan Perda yang berupa diskriminatif terhadap grup tertentu.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, terkandung 460 Perda yang berupa diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, tersedia 45 Perda yang mendiskriminasi grup minoritas dan grup bersama dengan orientasi seksual berbeda. Keberadaan perda diskriminatif dinilai menghidupkan sentimen negatif hingga tindakan kekerasan terhadap grup perempuan dan minoritas. “Meskipun dikatakan ‘sesuai bersama dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab’, ketetapan ini udah membuka celah penerapan hukum layaknya yang keluar di dalam perda-perda diskriminatif selagi ini,” kata Isnur.

Share: Facebook Twitter Linkedin
April 3, 2024 | admin

Hukum Adat: Pengertian, Sumber, dan Unsur

Hukum Adat: Pengertian, Sumber, dan Unsur

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya. Ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama, dan hukum adat. Pada prakteknya, masih banyak penduduk yang memanfaatkan hukum rutinitas dalam mengatur kesibukan sehari-hari dan dalam selesaikan suatu problem yang ada. Setiap lokasi di Indonesia punya hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar hukum rutinitas berikut tidak dalam wujud ketetapan yang tertulis dikutip dari laman https://jial-apha.net/.

Pengertian Hukum Adat

Hukum rutinitas adalah total kaidah-kaidah atau norma baik tertera maupun tidak tertera yang berasal berasal dari rutinitas istiadat atau kebiasaan masyarakat. Tujuan diberlakukannya hukum rutinitas adalah untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan sanksi.

Hukum rutinitas diakui oleh negara sebagai hukum yang sah. Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah sebagian ketetapan yang dimuat dalam Undang-undang Dasar atau UUD 1945 berkenaan hukum adat. Salah satunya adalah pasal 18B ayat 2 UUD 1945.

Tidak diketahui pasti awal mula berlakunya hukum rutinitas di Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan bersama dengan hukum barat dan hukum agama, hukum rutinitas adalah hukum yang tertua.

Sumber Hukum Adat

Sumber hukum rutinitas terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu:

Sumber Pengenal
Sumber pengenal hukum rutinitas adalah apa yang benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum di penduduk yang bersangkutan, baik tingkah laku yang sekali atau berulang kali dilakukan.

Sumber Isi
Sumber mengisi hukum rutinitas adalah kesadaran hukum yang hidup di penduduk adat.

Sumber Pengikat
Sumber pengikat hukum rutinitas adalah rasa malu yang muncul karena berfungsinya proses nilai dalam penduduk rutinitas yang bersangkutan. Kekuatan mengikat hukum rutinitas adalah kesadaran hukum bagian penduduk rutinitas yang bersangkutan.

Unsur Hukum Adat

Hukum rutinitas punya unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur hukum rutinitas adalah:

Unsur Material: Kebiasaan atau tingkah laku yang senantiasa diulang-ulang atau sebuah urutan perbuatan yang sama.
Unsur Intelektual: Kebiasaan mesti dikerjakan karena tersedia kepercayaan bahwa perihal itu dikerjakan secara objektif.

Sifat-sifat yang menempel dalam unsur-unsur hukum rutinitas adalah: Kebersamaan. Bersifat religius-magis. Bersifat konkret atau nyata. Bersifat kontan atau tunai.

Share: Facebook Twitter Linkedin
April 2, 2024 | admin

Edy Mulyadi Harus Dituntut Hukum Negara dan Adat

Edy Mulyadi Harus Dituntut Hukum Negara dan Adat

Jial-apha – Sepenggal video viral beredar luas di dunia maya baru-baru ini. Video tersebut memuat pernyataan Edy Mulyadi yang mengkritisi pindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan. Viralnya video tersebut disebabkan ujaran Edy yang menyinggung perasaan warga Kalimantan.

Dalam video itu, Edy memperlihatkan bahwa tidak tersedia yang sudi pindah ke Kalimantan sebab pulau itu terlalu sepi lebih-lebih dimisalkan sebagai tempat jin buang anak, pasarnya kuntilanak dan genderuwo, dan rumahnya monyet.

Sontak, pernyataan itu ditanggapi benar-benar warga Kalimantan. “Ini secara gamblang dan memperlihatkan bahwa tingkah laku rasisme dan melecehkan bangsa sendiri masih saja terjadi sampai hari ini,” kata Tokoh Masyarakat Melayu Kalimantan Barat yang berasal dari Kabupaten Sanggau, Edy Setiawan terhadap Senin (24/1/2022).

Dia pun angkat bicara perihal perihal ini seraya mengingatkan, negara mesti melakukan tindakan tegas dapat tingkah laku semacam ini. Pasalnya, perihal tersebut mampu membawa dampak perpecahan yang menjurus terhadap kesewenangan sosial. “Ini memahami mencederai prinsip kebinekaan yang kita rajut bersama,” kata Edy Setiawan.

Dia terhitung mengecam dan menuntut permohonan maaf dari Edy Mulyadi dan rekan-rekan yang tersedia didalam video tersebut untuk berharap maaf kepada masyarakat Kalimantan atas ucapan yang terlontar.

Pro kontra kebijakan ibu kota baru

“Sebelum ini jadi polemik yang berkepanjangan, mendesak aparat untuk langsung melakukan tindakan sebelum akan semuanya terlambat,” dia mengingatkan.

Edy Setiawan menilai, pro kontra kebijakan ibu kota baru itu biasa, dinamika demokrasi, semua boleh bersuara, tapi tersedia undang-undang yang menyesuaikan kebebasan berbicara.

“Namun pernyataan yang sifatnya melecehkan seperti hantu dan monyet, ini memahami penghinaan. Kita lawan,” kata Edy Setiawan.

Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Barat, Jakius Sinyor terhitung menanggapi ujaran sindiran Edy Mulyadi itu.

“Kita minta ditindak secara hukum nasional dan hukum rutinitas terhitung mesti dijalankan, ini kita minta kepada MADN (Majelis Adat Dayak Nasional),” ujar Jakius Sinyor.

Dia bilang, saat untuk pernyataan sikap DAD Kalimantan Barat dapat disampaikan besok melalui Presiden MADN. “Terkait bagaimana teknis hukumnya, diserahkan di Kaltim sebab teknisnya tersedia di Kaltim. Yang memahami kita minta baik sistem hukum nasional dan rutinitas mesti dijalankan,” Jakius Sinyor menandasakan.

Share: Facebook Twitter Linkedin
April 2, 2024 | admin

Dijaga dengan Pendekatan Hukum Adat Hutan Lindung Wehea di Kutai Timur

Dijaga dengan Pendekatan Hukum Adat Hutan Lindung Wehea di Kutai Timur

Jial-apha.net – Jakarta Hutan Lindung Wehea yang terletak di Kabupaten Kutai Timur terus dijaga kelestariannya melalui pendekatan adat. Pasalnya, di tengah hutan yang merupakan rumah bagi hewan endemik Kalimantan tersebut terdapat sebuah monumen Suku Dayak Wehea.

Monumen itu pun menjadi penanda bahwa Hutan Lindung Wehea yang memiliki luas 38 ribu hektare dijaga melalui pendekatan adat. Melalui pendekatan adat, hutan yang memiliki kekayaan fauna, seperti 19 jenis mamalia, 114 jenis burung, 12 hewan pengerat, dan 9 jenis primata tetap lestari hingga kini.

Namun, kawasan hutan lindung tersebut pun terancam oleh perambahan yang dilakukan oleh beberapa pihak. Untuk itu, masyarakat adat Wehea membentuk Petkuq Mehuey atau penjaga hutan yang beranggotakan pemuda-pemuda Suku Dayak Wehea yang bertugas melakukan penjagaan hutan secara bergantian.

“Ya biar Hutan Lindung Wehea ini tetap ada,” kata Bering, salah satu anggota Petkuq Mehuey.

Para pemuda Dayak Wehea berkeliling hutan untuk memastikan tidak ada satu pun pohon yang ditebang dan hewan yang diburu. Di hutan lindung ini, selain dilarang menebang pohon maupun berburu, menyalakan api pun tak boleh.

Bagi masyarakat Suku Adat Dayak Wehea, hutan adalah sumber kehidupan. Hutan yang lestari menjadi sumber air bagi ladang dan sawah mereka dan itulah mengapa masyarakat begitu teguh mempertahankan hutan ini.

Bergantung berasal dari Hutan

Masyarakat Dayak secara umum hidup bergantung berasal dari hutan sejak dulu. Kesadaran terhadap tingkat deforestasi yang tinggi membuat Suku Dayak Wehea merawat dengan sepenuh hati Hutan Lindung Wehea.

“Jadi kalau kaya di luar sana tersedia perkebunan apa segala macam, kalau tidak dijaga hutan ya nanti habis. Terjadi bencana kaya longsor banjir,” kata Beping.

Pemuda Dayak Wehea ini bercerita pernah menangkap seorang pemburu kayu gaharu dan mereka menangkap pas tengah patrol di dalam hutan. Uniknya, pendekatan hukuman adat didahulukan dan pemburu kayu itu lantas dihukum sesuai keputusan adat.

“Ada pernah kita menangkap orang yang mengambil alih (kayu) gaharu. Di hukum adat,” ujar Beping.

Patroli jadi ditingkatkan dikarenakan di dalam hutan lindung wehea terdapat kadar emas. Para pendulang emas tradisional pernah coba masuk ke hutan lindung ini.

Kepala Adat Dayak Wehea, Ledjie Taq menjelaskan, pelanggaran di hutan lindung wehea dapat dikenakan sanksi adat. Sangsi ini lebih mempunyai tujuan untuk melaksanakan pemulihan.

“Sementara ini di hutan lindung ini kita tersedia buat ketetapan adat untuk merawat hutan. Antara lain tidak boleh membuat api, tidak boleh mengambil alih kayu tidak boleh menebang pohon tidak boleh membunuh binatang yang tersedia di dalamnya, termasuk binatang langka lainnya itu,” jelasnya.

Share: Facebook Twitter Linkedin
April 1, 2024 | admin

Hari Masyarakat Adat Nasional Diperingati Tiap 13 Maret, Ini Sejarahnya

Hari Masyarakat Adat Nasional Diperingati Tiap 13 Maret, Ini Sejarahnya

Jakarta – Peringatan Hari Masyarakat Adat Nasional jatuh pada tanggal 13 Maret. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang keberagaman adat, budaya, dan suku bangsa di Indonesia.
Lalu, bagaimana sejarah Hari Masyarakat Adat Nasional di Indonesia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 13 Maret? Simak penjelasannya berikut ini.

Apa itu Masyarakat Adat?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat adat diartikan sebagai masyarakat yang hidup di suatu wilayah berdasarkan kesamaan leluhur, diatur oleh hukum adat atau lembaga adat, dan memiliki hak atas hasil dan pengelolaan mereka.

Kemudian, dikutip dari situs resmi MenPAN-RB, Hari Masyarakat Adat Nasional adalah peringatan untuk menghormati dan menghargai jasa para tokoh/masyarakat yang berperan penting dalam menjaga adat yang sudah ada sejak dahulu.

Meskipun tidak semeriah peringatan hari penting lainnya, Hari Masyarakat Adat Nasional 13 Maret tetap penting untuk diperingati setiap tahunnya, untuk mengingat jasa masyarakat yang telah berjuang dalam adat di daerah-daerah yang ada di Indonesia.

Sejarah Hari Masyarakat Adat Nasional 13 Maret

Hari Masyarakat Adat Nasional 13 Maret bermula dari peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan resolusinya, Majelis Umum PBB menentukan Hari Masyarakat Adat Internasional diperingati tiap tiap tanggal 9 Agustus.

Pada tanggal 13 September 2007, PBB mengesahkan Deklarasi PBB perihal Hak-Hak Masyarakat Adat. Sementara itu, Hari Masyarakat Adat Nasional yang diperingati di Indonesia diatur didalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang terlampir sebagai berikut.

Pasal 18B Ayat (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan penduduk hukum kebiasaan serta hak-hak tradisionalnya sepanjang tetap hidup dan cocok dengan perkembangan penduduk dan prinsip Negara.

Pasal 28l Ayat (3)
Negara menghormati identitas budaya dan hak penduduk tradisional serasi dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 32 Ayat (1) dan (2)
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di sedang peradaban dunia dengan menanggung kebebasan penduduk didalam pelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Share: Facebook Twitter Linkedin
April 1, 2024 | admin

Majelis Adat Aceh Ajak Semua Pihak Kembali Bersatu Usai Pemilu 2024

Majelis Adat Aceh Ajak Semua Pihak Kembali Bersatu Usai Pemilu 2024

Jakarta – Majelis Adat Aceh (MAA) mengajak seluruh komponen masyarakat untuk kembali bersatu seiring selesainya pemungutan suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. MAA mengajak semua pihak untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan Aceh.
“Mari kita kembali bersatu-padu untuk melanjutkan pembangunan Aceh dan merawat perdamaian yang telah terbina,” kata Ketua Pemangku Adat pada MAA, Abdul Hadi Zakaria kepada team https://jial-apha.net/ , di Banda Aceh, seperti dilansir Antara, Kamis (15/2/2024).

Hadi menjelaskan, dalam pemilihan presiden, khususnya masyarakat di Tanah Rencong, memiliki kekhasan tersendiri dalam memilih pemimpin yang akan melanjutkan kepemimpinan lima tahun mendatang.

“Masyarakat Aceh memang memiliki karakter dan ciri khas tersendiri dalam memilih sosok pemimpin, khususnya dalam pilpres. Namun, apa pun hasilnya yang akan diputuskan, maka semua harus menerima,” kata Hadi.

Hasil resmi Komisi Pemilihan Umum

Hadi mengatakan semua pihak harus tetap menunggu hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga resmi penyelenggara Pemilu 2024. Jika ada dugaan kecurangan, dia menyarankan untuk menempuh jalur hukum.

“Mari kita sama-sama menunggu hasil resmi Pemilu 2024 dari KPU dan menerima keputusan tersebut. Apabila ada yang tidak terima dan menemukan kecurangan, maka dapat menempuh jalur hukum yang ada,” kata Hadi.

Hadi menyakini masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam melakukan berbagai tindakan sesuai dengan karakter keacehan yang menjunjung tinggi nilai dan norma.

“Secara umum proses pelaksanaan pemilu berjalan dengan aman, damai, dan lancar di Aceh. Saya juga mengajak masyarakat untuk tidak mudah percaya dengan berita bohong dan mengecek kembali informasi yang beredar kepada sumber-sumber resmi,” ujar Hadi.

Share: Facebook Twitter Linkedin