JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa
JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa
Terlihat ironi yang signifikan dalam lingkungan sosial Desa Pemaluan di IKN, khususnya terkait dengan proses pembangunan infrastruktur IKN yang menimbulkan dilema yang kompleks bagi penduduknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh ketua jial-apha.net
Melalui sumber berita resmi yang diterbitkan oleh Warta Kaltim, menjelaskan bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah sebuah tatanan sosial baru melalui rekonsiliasi ekososial, politik dan ekonomi, sehingga akan melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru di dalam masyarakat. Beliau juga menjelaskan dampak yang dihasilkan dari pembentukan struktur sosial baru adalah terbangunnya relasi sosial yang bisa seimbang atau pun timpang dan resistensi sosial secara horizontal antara warga ibu kota baru dan masyarakat sekitar, sehingga melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru.
Meskipun tujuan IKN adalah untuk pemerataan pembangunan, namun surat edaran yang baru-baru ini beredar di masyarakat, di mana pihak Otorita meminta sekitar 200 warga untuk merobohkan rumahnya justru menimbulkan paradoks. Hal ini seolah-olah memarjinalkan masyarakat adat di sana, terlebih karena tidak adanya payung hukum yang cukup jelas mengenai kehidupan masyarakat adat dan hutan adat.
Gejolak dan tuntutan “Mimbar Bebas“
Gejolak dan tuntutan pun cukup memanas akhir-akhir ini, bahkan hingga BEM KM Unmul menyelenggarakan kegiatan “Mimbar Bebas“ di depan pintu gerbang utama Unmul dikutip dari jial-apha.net. Dengan melihat surat edaran tersebut menjadi pemicu utama. Namun, pada akhirnya pihak otorita IKN sadar akan potensi kerugian lebih lanjut, dan mencabut surat edaran tersebut guna menghindari kemelut di masyarakat. Inilah yang kemudian membuat saya menganggap bahwa ini seperti dua sisi mata pisau.
Guna mengatasi konflik yang kompleks ini, penting bagi kita untuk merujuk pada peraturan yang ada, seperti Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Akan tetapi, jika berkaca pada kedua aturan tersebut, tentu akan menjadi masalah kompleks karena IKN sendiri merupakan daerah otorita yang dipimpin oleh seorang Kepala Otorita yakni Bambang Susantono. Yang dimana pengangkatan kepala otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) ditunjuk langsung oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
Alhasil peran daripada baik itu Bupati maupun Gubernur kurang atau tidak diperlukan di sini, sehingga menjadi salah satu masalah sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwasanya tidak adanya payung hukum yang cukup jelas.
Surat edaran tertanggal 4 Maret yang dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN dengan nomor 179/DPP/OIKN/III/2024 perihal Undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN menjadi konteks penting dalam konflik permasalahan ini. Surat tersebut memberikan tenggat waktu 7 hari bagi warga untuk membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.