Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan di dalam Pembahasan RUU KUHP

JAKARTA, Jial-alpha.com – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik menyebutkan bahwa selagi ini tetap terkandung tujuh isu yang belum disepakati di dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada DPR dan Pemerintah. Salah satunya yakni ketetapan soal pemberlakuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau hukum rutinitas di Pasal 2 RUU KUHP. “Perdebatan yang paling panjang itu sebenarnya tersedia di asas legalitas itu. Hukum rutinitas itu,” ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 04/04/2024

Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 2 menyatakan, hukum yang hidup di dalam masyarakat berlaku di dalam daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur di dalam Undang-Undang ini dan sesuai bersama dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Tim Panja Pemerintah sendiri tetap terjadi pembicaraan apakah pasal berkenaan penerapan hukum

Erma mengatakan, di dalam tim Panja Pemerintah sendiri tetap terjadi pembicaraan apakah pasal berkenaan penerapan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau hukum rutinitas kudu diatur di dalam RUU KUHP. Perdebatan terhitung terjadi soal bagaimana mengukur penerapan hukum rutinitas agar tidak menyebabkan konflik. Ia mencontohkan kala tersedia orang bersuku Aceh lakukan pelanggaran di Papua, apakah hukuman untuk membayar denda rutinitas bersama dengan memakai babi bisa diterapkan atau tidak. “Itu kan ditingkatnya tim pemerintah itu tetap tarik menarik.

Ada yang sudi memasukkan tersedia yang enggak. Karena kecuali sudi dimasukkan nanti bagaimana mengukur penerapan sanksi adatnya,” kata Erma. Sebelumnya, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur mengkritik ketetapan pasal 2 RUU KUHP. Ia menilai ketetapan berikut dapat menyimpang berasal dari asas legalitas kecuali senantiasa berlaku. “Hukum yang hidup di dalam masyarakat yang tidak diatur di dalam KUHP menurut pasal 2 ini senantiasa berlaku. Ini artinya menyimpangi asas legalitas,” ujar Isnur selagi dihubungi, Selasa (04/04/2024).

Selain itu, menurut Isnur, ketetapan Pasal 2 membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Pasal ini terhitung pernah dipersoalkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji menyebutkan ketetapan Pasal 2 RKUHP terlalu berkenaan erat bersama dengan penerbitan Peraturan Daerah (Perda). Dikhawatirkan pengaturan yang tidak ketat bisa menghidupkan Perda yang berupa diskriminatif terhadap grup tertentu.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, terkandung 460 Perda yang berupa diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, tersedia 45 Perda yang mendiskriminasi grup minoritas dan grup bersama dengan orientasi seksual berbeda. Keberadaan perda diskriminatif dinilai menghidupkan sentimen negatif hingga tindakan kekerasan terhadap grup perempuan dan minoritas. “Meskipun dikatakan ‘sesuai bersama dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab’, ketetapan ini udah membuka celah penerapan hukum layaknya yang keluar di dalam perda-perda diskriminatif selagi ini,” kata Isnur.