November 14, 2024

Jurnal Hukum Adat Indonesia (JIAL) – BERITA

Jurnal Hukum Adat Indonesia (JIAL) online akses terbuka yang menerbitkan artikel penelitian asli, resensi, artikel pendek dan isu-isu di bidang Hukum Adat atau Hukum Adat di Indonesia.

March 31, 2024 | admin

ICW Sindir Pengacara yang Minta KPK Proses Lukas Enembe dengan Hukum Ada

ICW Sindir Pengacara yang Minta KPK Proses Lukas Enembe dengan Hukum Adat

Jial-apha.net – Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyindir tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe yang meminta kasus dugaan suap dan gratifikasi di Pemprov Papua yang menjerat Lukas diselesaikan dengan hukum adat.

Atas permintaannya itu, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana meminta tim kuasa hukum Lukas kembali mempelajari ilmu hukum.

“ICW berharap pengacara Lukas Enembe segera bergegas membeli buku tentang hukum pidana dan membacanya secara perlahan, agar kemudian dapat memahami secara utuh bagaimana alur penanganan suatu perkara,” ujar Kurnia dalam keterangannya, Rabu (12/10/2024).

Lagi pula, menurut Kurnia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan seorang gubernur, bukan kepala suku. Jadi, menurut Kurnia, tak ada kaitan hukum adat dengan mekanisme pidana yang tengah dilakukan KPK.

“Pengacara saudara Lukas juga harus memahami bahwa KPK saat ini sedang mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh gubernur, bukan seorang kepala suku,” kata dia.

Kurnia juga mengingatkan soal penghentian penyidikan yang bisa dilakukan KPK. Menurut Kurnia, penghentian penyidikan dapat dilakukan bila KPK tak memperoleh bukti cukup, kemudian perbuatan Lukas tidak masuk ranah pidana, dan diberhentikan demi hukum. Kurnia menyebut, regulasi itu diatur secara rinci dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

Selain itu, Kurnia juga meminta tim kuasa hukum Lukas membaca ketentuan Pasal 40 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK dapat menghentikan penyidikan jika penanganannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

“Dua regulasi itu sama sekali tidak menyebutkan alasan penghentian penyidikan karena seseorang diangkat sebagai kepala suku,” kata Kurnia.

KPK Duga Ada Provokator

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada pihak yang coba memperkeruh dan memprovokasi penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi pengerjaan proyek di Papua yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe.

“Kami meminta kepada pihak-pihak tertentu untuk tidak memperkeruh dan memprovokasi masyarakat dengan narasi-narasi adanya kriminalisasi maupun politisasi,” ujar Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (31/3/2024).

Ali meminta kepada pihak-pihak tersebut untuk tak lagi membangun opini yang menyebabkan mangkraknya penanganan kasus. Apalagi, sampai memprovokasi agar Lukas Enembe maupun saksi lain untuk tak memenuhi panggilan KPK.

“Sehingga KPK pun menyayangkan dugaan adanya pihak-pihak yang kemudian membangun opini agar saksi maupun tersangka menghindari pemeriksaan KPK,” kata Ali.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe tak ada hubungannya dengan politik. Dia menekankan aparat TNI siap dikerahkan apabila ada masyarakat menghalangi proses hukum Lukas Enembe.

“Kalau mereka dalam perlindungan masyarakat yang dalam pengaruhnya Lukas Enembe, apa perlu TNI dikerahkan? Untuk itu, kalau diperlukan ya apa boleh buat. Begitu,” kata Moeldoko kepada wartawan di Kantor Staf Presiden Jakarta, Kamis (29/8/2024).

KPK Tetap Usut dengan Hukum Nasional

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan memproses Gubernur Papua Lukas Enembe dengan hukum nasional. Pernyataan ini menanggapi keinginan kuasa hukum Lukas yang menghendaki masalah Lukas Enembe diproses dengan hukum adat.

“Sejauh ini betul bahwa eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia dianggap keberadaannya. Namun untuk kejahatan, khususnya korupsi maka baik hukum acara formil maupun materiil pasti mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional,” ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di dalam keterangannya, Selasa (31/3/2024).

Ali mengaku pihak lembaga antirasuah jadi khawatir keinginan pengacara Lukas Enembe itu tambah mencederai nilai luhur penduduk Papua.

“Kami khawatir statement yang kontraproduktif berikut justru sanggup menciderai nilai-nilai luhur penduduk Papua itu sendiri,” kata Ali.

Menurut Ali Fikri, sekiranya hukum adat beri tambahan sanksi moral atau adat kepada pelaku tindak kejahatan, perihal berikut tidak berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum positif cocok undang-undang yang berlaku.

Ali menyebut pihak KPK menyayangkan pengakuan penasihat hukum Lukas Enembe, yang semestinya paham masalah hukum. Menurut Ali, penasihat hukum sejatinya sanggup beri tambahan nasihat kepada Lukas secara profesional.

“Kami meyakini para tokoh penduduk Papua senantiasa teguh merawat nilai-nilai luhur adat yang diyakininya, juga nilai kejujuran dan antikorupsi. Sehingga tentu saja juga mendukung penuh usaha pemberantasan korupsi di Papua,” kata Ali.

Share: Facebook Twitter Linkedin
March 31, 2024 | admin

Hukum Adat Harus Berlaku Lagi Bopak Castello Kritik Komika Merendahkan Agama Dan Hina Nabi

Hukum Adat Harus Berlaku Lagi Bopak Castello Kritik Komika Merendahkan Agama Dan Hina Nabi

Jurnal Hukum Adat Indonesia ( JILI ) – Jakarta Dalam lanjutan wawancara podcast dengan Dery eks Vierratale, Bopak Castello tidak hanya membahas keputusannya untuk memilih proyek televisi yang lebih positif, tetapi juga menyentuh isu sensitif terkait perilaku beberapa komedian di Indonesia yang cenderung melampaui batas-batas keberagamaan.

Bahkan yang paling parah adalah hingga menghina Nabi. Dalam percakapan tersebut, Dery mempertanyakan pandangan Bopak mengenai kondisi perkomedian di Indonesia, khususnya para komika baru yang terkadang menggunakan materi yang kurang pantas.

Bopak Castello menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena tersebut.

“Sekarang gimana, Bang? Mengenai karir perkomedian di Indonesia ini, kan banyak yang anak-anak baru. Tapi nyatanya, oknum-oknum ini kan dia serampangan kata-katanya, ngomong-ngomong jorok,” ungkap Dery.

Hukum Adat Dirangkum Dalam Jurnal Hukum Adat Indonesia

Dalam tanggapannya, Bopak Castello menekankan bahwa materi yang menyinggung nilai-nilai agama, terutama merendahkan Rasulullah, adalah hal yang tidak baik. Ia berpendapat bahwa ini bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga tugas pemerintah dan masyarakat untuk menjaga nilai-nilai tersebut.

“Ini kan materi yang tidak baik. Nah ini kan begini, sebetulnya udah harus tugas pemerintah ini. Harus tugas pemerintah dan masyarakat. Kalau Bopak malah setuju hukum adat itu berlaku lagi. Kayak zaman kita dulu,” jelas Bopak.

Contoh Kasus Hukum Adat

Bopak Castello menanggapi dengan menyebutkan sebuah contoh masalah yang berlangsung baru-baru ini. Di mana ada seorang komika Lampung dianggap menghina nabi Muhammad SAW.

“Apalagi tempo hari kan ada kawan yang berasal dari sono hingga menyinggung Rasulullah, ya kan? Aduh,” ujar Bopak.

Sanksi Sosial Dalam Konteks Hukum Adat

Dalam konteks hukum adat, Bopak Castello memberi tambahan contoh berkenaan bagaimana penduduk dulu menerapkan sanksi sosial pada pelanggaran tertentu, seperti bekas narapidana yang diakui sebagai tabu. Ia menyebutkan bahwa sanksi sosial seperti itu mampu jadi solusi dalam konteks moderen untuk menghargai nilai-nilai agama dan moralitas.

“Hukum rutinitas itu kan tidak tertulis. Tapi hukum rutinitas itu lahir dibentuk berasal dari manusia yang sebenarnya perhatikan berkenaan sosial. Lo di satu wilayah, kan lo harus ikut peraturan lingkungan. Itu namanya kan hukum adat. Nah jikalau lu melanggar, ya lu tentu dilecehkan mirip warga yang lainnya. Karena Karena lu apa? Mengganggu,” kata Bopak Castello.

Share: Facebook Twitter Linkedin
March 29, 2024 | admin

Buka Musdatnas Lemtari, Bamsoet Dorong Penguatan Masyarakat Hukum Adat

jial-apha.net – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang juga Ketua Dewan Pembina Lembaga Tinggi Masyarakat Adat Republik Indonesia (Lemtari) membuka Musyawarah Adat Nasional (Musdatnas) Lemtari di Komplek MPR RI, Jakarta, Senin (20/3). Dalam kesempatan tersebut, Bamsoet membahas terkait pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan kedua hal tersebut telah diatur sejak zaman Hindia Belanda pada pasal 131 Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregeling). Dalam pasal ini, dikatakan bahwa bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku hukum adatnya sendiri.

Adapun pada tingkat dunia, terdapat Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat, dan mendorong pertumbuhan adat, budaya, institusi dan tradisi, serta penghapusan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Sementara di Indonesia, UUD NRI 1945 mengakui eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 B ayat (2).

“Sebagai salah satu bentuk pengakuan hak masyarakat adat, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, misalnya telah menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan hutan negara. Ketentuan tersebut membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Senin (20/3/2023)

Ketua DPR RI ke-20 ini pasal 28 I ayat (3), UUD NRI 1945 juga menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Namun, adanya modernitas dan dinamika zaman tak berarti juga mengesampingkan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat adat.

Bamsoet menilai pertumbuhan zaman mesti dimaknai sebagai tantangan di dalam beradaptasi dan berinovasi, tanpa mengorbankan eksistensi penduduk adat dan hukum adat.

“Ketentuan selanjutnya justru berarti bahwa identitas budaya adalah ciri khas dan jati diri bangsa yang mesti dijaga dan dihormati. Sehingga penataan dan pembangunan daerah, haruslah diimplementasikan bersama selalu melindungi dan pelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah,” ujarnya.

“Hal lain yang terhitung mesti ditekankan, banyak variasi adat dan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam heterogenitas bangsa, bukan untuk saling diperbandingkan, lebih-lebih dipertentangkan. Keberagaman adat istiadat dan kemajemukan budaya, mesti dimaknai sebagai potensi sumberdaya, yang memperkaya khasanah kebangsaan kita, dan saling melengkapi satu sama lain,” jelasnya.

Terkait Musdatnas Lemtari, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini pun mendorong kesibukan ini bisa mengulas lebih di dalam dan mendekatkan tataran idealisme norma hukum di dalam konstitusi, bersama tataran implementasi di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Bamsoet, hal selanjutnya bisa menghadirkan bermacam jawaban atas pertanyaan penting. Misalnya, mengatakan tentang sejauh mana amanat konstitusi diimplementasikan di dalam praktek kehidupan jikalau konstitusi telah mengimbuhkan pernyataan dan landasan fundamental pada eksistensi kesatuan penduduk hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

Sebagai informasi, turut ada di dalam musyawarah selanjutnya antara lain, Anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum DPP LEMTARI Suhaili Husin Datuk Mudo, Sekretaris Jenderal DPP LEMTARI Prof Denny Sengkey, Ketua Panitia Musyawarah Adat Nasional LEMTARI Lukas Kustaryo Siahaan.

 

Share: Facebook Twitter Linkedin
March 29, 2024 | admin

Peran Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Indonesia

jial-apha.net – Dalam konteks pembangunan hukum nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama yang menggabungkan elemen-elemen yang diperlukan untuk pembangunan hukum nasional. Hukum adat berubah sesuai dengan situasi dan perkembangan, sehingga tetap dinamis dan mudah berkembang dan beradaptasi dengan perubahan dunia. Ini adalah alasan mengapa hukum adat sangat penting di era modern, atau era globalisasi. keduanya karena menjadi manifesto kontemporer dari nilai-nilai universal dan pranata hukum. Dengan penyesuaian ini, ada kemungkinan bahwa penerapan ketentuan hukum adat dalam hukum nasional akan berubah, Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Konstitusi 1945, serta demi pengembangan dan pengayaan hukum nasional.
Kata kunci : Hukum Adat, Pembangunan Hukum Nasional, Hubungan hukum.
 
Pendahuluan
Salah satu bentuk hukum yang tetap ada di hukum adat masyarakat Indonesia adalah hukum adat. Selain itu, perlu diketahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari budaya dan kehidupan hukum masyarakat Indonesia dan tetap berlaku hingga sekarang. Hukum adat masih ada di Indonesia saat ini, seperti yang ditunjukkan oleh peradilan adat dan instrumen yang masih digunakan oleh masyarakat hukum adat untuk menyelesaikan perselisihan dan tindakan.berbagai kejahatan yang tidak dapat ditangani oleh penegak hukum, pengadilan, atau institusi pemasyarakatan. Hingga saat ini, masyarakat hukum adat tetap menggunakan hukum adat karena mereka percaya bahwa keputusan pengadilan adat mengenai suatu pelanggaran dapat memberikan rasa keadilan dan memulihkan keseimbangan kehidupan masyarakat adat setelah guncangan mental yang disebabkan oleh pelanggaran adat.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya selama masih ada dan sejalan dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 18B ayat (2) dari UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa hukum adat adalah bagian dari hukum yang diakui dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Memberikan penjelasan tentang pengakuan negara terhadap hukum adat juga tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang dengan jelas menyatakan “Semua warga negara mempunyai pendapat yang sama di hadapan UU dan pemerintah serta wajib menaati undang-undang ini dan pemerintah ini. tanpa kecuali”, demikianlah bunyi ayat ini, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat sipil dan pejabat pemerintah tanpa ada kecualinya wajib menaati hukum yang berlaku dalam kehidupan hukum dan kebudayaan hukum pidana, perdata, atau adat di masyarakat Indonesia.
 
 
Isi
Adat istiadat adalah bagian dari budaya Indonesia. Seperti yang dikatakan Cicero 2000 th. yang lalu, di mana ada masyarakat, ada hukum (Ubi Societas Ubi lus). Walaupun simpel dan kecil, ketentuan yang ada di penduduk manusia juga mencerminkan perihal ini. Karena tiap tiap penduduk dan tiap tiap bangsa membawa kebudayaannya masing-masing dengan corak dan ciri khasnya masing-masing, biarpun di dalam kebudayaan sebagian penduduk (misalnya semua penduduk Eropa Barat) terkandung banyak kesamaan. Dengan langkah berpikirnya masing-masing, hukum di dalam penduduk sebagai salah satu wujud dari struktur organisasi penduduk itu membawa corak dan sifat tersendiri, supaya hukum terhadap tiap tiap penduduk berbeda-beda.
Menurut Lampiran A, Ayat 402 dari Ketetapan MPRS Nomor 11/MPRS/1960, hukum tradisi berguna sebagai basic untuk pembangunan hukum nasional. Ini membentuk garis kebijakan di bidang hukum, dan isi lengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Asas menjadikan hukum nasional serasi dengan kebijaksanaan negara dan berdasarkan hukum tradisi tidak membatasi pembangunan penduduk adil dan makmur.
b. Dalam upaya meraih keseragaman di bidang hukum, harus memperhatikan realitas kehidupan di Indonesia.
c. Dalam menyempurnakan hukum perkawinan dan waris harus memperhatikan aspek agama, tradisi istiadat dan aspek lainnya.
Menurut Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, kedudukan dan guna hukum tradisi di dalam pembangunan hukum nasional jadi mengerti dan kokoh sepanjang tidak menahan pembangunan sistem hukum yang adil dan makmur. sistematik. Masyarakat adalah inti dari semua hal. Karena hukum tradisi adalah bagian dari budaya Indonesia, ketentuan MPRS adalah tepat. Hukuman didasarkan terhadap perilaku, etika, dan kebiasaan lazim orang Indonesia. Hukum tradisi dihormati, dihormati, dan dijunjung tinggi di Indonesia.
Dalam buku van Vollenhoven Het Adatsrecht van Nederlandch Indie Jilid III, dia menunjukkan bahwa ada 19 rechtskringen yang masing-masing punyai karakteristik dan pendekatan unik. Oleh karena itu, undang-undang lokal yang digunakan sebagai basic untuk undang-undang nasional harus memenuhi persyaratan berikut:Hukum tradisi tidak diperkenankan bertentangan dengan keperluan nasional atau keperluan negara atas basic persatuan bangsa;
1) Hukum tradisi tidak diperkenankann bertentangan dengan falsafah Pancasila negara Indonesia;
2) Hukum tradisi tidak diperkenankan bertentangan dengan undang-undang, atau ketentuan tertulis;
3) Hukum tradisi tidak berbentuk feudal, kapitalis, atau mengeksploitasi masyarakat; dan
4) Hukum tradisi tidak diperkenankan bertentangan dengan aspek agama.
Oleh karena itu, hukum tradisi yang digunakan sebagai basic bagi pengembangan hukum nasional bukanlah hukum tradisi semata-mata; itu adalah hukum tradisi spesifik yang memenuhi segala persyaratan tersebut. Kondisi berikut menuntut kita untuk melaksanakan penelitian menyeluruh terhadap semua populasi tradisional yang ada dan tumbuh di dalam kebiasaan sehari-hari. Diharapkan bahwa penelitian ini dapat mengungkap ketentuan tradisi yang harus dihilangkan karena dapat menahan kemajuan menuju penduduk yang adil dan makmur dan juga ketentuan yang memenuhi syarat yang harus ditetapkan oleh hukum nasional.
Lokakarya Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional diadakan oleh BPHN bekerja sama dengan FH UGM terhadap tanggal 15-17 Januari 1975. Lokakarya ini mengkaji kedudukan hukum tradisi dan peranannya di dalam pertumbuhan hukum nasional, dengan topik sebagai berikut:
1) Hukum tradisi adalah salah satu sumber utama untuk mendapatkan dokumen untuk mendukung sistem berkembangnya hukum nasional yang mengarah terhadap penyatuan hukum, yang dicapai terlebih melalui penciptaan ketentuan hukum, tanpa melupakan munculnya, pertumbuhan, dan pertumbuhan hukum tradisi dan peran pengadilan;
2) Pada dasarnya, komponen hukum tradisi digunakan di dalam menyebabkan undang-undang nasional sebagai berikut:
a. Menciptakan norma hukum yang memenuhi kebutuhan penduduk baik saat ini maupun di era depan dengan mengfungsikan konsep, asas, dan tradisi istiadat hukum. Ini ditunaikan untuk membangun penduduk yang adil dan makmur didasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Lembaga hukum tradisional diperbarui dan disesuaikan untuk memenuhi tuntutan era kini tapi selalu mempertahankan sifat dan sifat Indonesia;
c. Memperkaya dan mengembangkan hukum di dalam negeri dengan memasukkan konsep dan memasukkan asas hukum tradisi ke di dalam instansi hukum baru dan instansi hukum yang berasal dari hukum asing, sepenuhnya tanpa melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan hasil lokakarya di atas, maka tugas mutlak sementara ini adalah bagaimana buat persiapan nilai-nilai yang terlampau ada di dalam hukum di dalam masyarakat, mengikuti persyaratan zaman untuk membangun sistem hukum negara, supaya hukum kontemporer dapat dibandingkan dengan hukum negara-negara yang paling maju di dunia. Untuk meraih perihal ini, kita harus terus menemukan, mengikuti, dan mengerti basic hukum yang berlaku.
 
 
 
 
 
 
 
Kesimpulan
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adat memainkan peran penting dalam membangun hukum nasional. Hukum adat dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional, yaitu sebagai landasan bagi pengembangan peraturan hukum. Hukum adat juga dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan hukum nasional, termasuk memasukkan unsur-unsur hukum adat ke dalam peraturan hukum.
Oleh karena itu, seluruh populasi tradisional yang ada dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari perlu diteliti secara menyeluruh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pencerahan tentang peraturan adat yang harus ditinggalkan karena ketentuan-ketentuannya dapat menghambat kemajuan ke arah masyarakat yang adil dan makmur serta untuk menetapkan peraturan dalam undang-undang nasional yang memenuhi tuntutan tersebut.
 
Saran
Hukum adat merupakan unsur kebudayaan Indonesia dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat dapat dijadikan sebagai sumber hukum nasional, sebagai sarana pengembangan hukum nasional, dan sebagai sarana pelestarian kebudayaan nasional.
Akibatnya, peran hukum adat dalam pembangunan hukum nasional harus ditingkatkan. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
* Membangkitkan nilai-nilai luhur hukum adat
* Harmonisasi hukum adat dan hukum nasional
* Perlindungan hukum masyarakat hukum adat
* Mengenali kesadaran masyarakat terhadap hukum adat

 

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Peran Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/-3796/65a66eeec57afb0a0179e142/peran-hukum-adat-dalam-pembangunan-hukum-nasional

Kreator: Kelvin Ammarthufail Kristanto

 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Share: Facebook Twitter Linkedin
March 28, 2024 | admin

JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa

JIAL ALPA: Paradoks IKN Pembangunan yang Membawa Asa atau Nestapa

Terlihat ironi yang signifikan dalam lingkungan sosial Desa Pemaluan di IKN, khususnya terkait dengan proses pembangunan infrastruktur IKN yang menimbulkan dilema yang kompleks bagi penduduknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh ketua jial-apha.net

Melalui sumber berita resmi yang diterbitkan oleh Warta Kaltim, menjelaskan bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah sebuah tatanan sosial baru melalui rekonsiliasi ekososial, politik dan ekonomi, sehingga akan melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru di dalam masyarakat. Beliau juga menjelaskan dampak yang dihasilkan dari pembentukan struktur sosial baru adalah terbangunnya relasi sosial yang bisa seimbang atau pun timpang dan resistensi sosial secara horizontal antara warga ibu kota baru dan masyarakat sekitar, sehingga melahirkan segregasi dan ketimpangan sosial yang baru.

Meskipun tujuan IKN adalah untuk pemerataan pembangunan, namun surat edaran yang baru-baru ini beredar di masyarakat, di mana pihak Otorita meminta sekitar 200 warga untuk merobohkan rumahnya justru menimbulkan paradoks. Hal ini seolah-olah memarjinalkan masyarakat adat di sana, terlebih karena tidak adanya payung hukum yang cukup jelas mengenai kehidupan masyarakat adat dan hutan adat.

Gejolak dan tuntutan “Mimbar Bebas“

Gejolak dan tuntutan pun cukup memanas akhir-akhir ini, bahkan hingga BEM KM Unmul menyelenggarakan kegiatan “Mimbar Bebas“ di depan pintu gerbang utama Unmul dikutip dari jial-apha.net. Dengan melihat surat edaran tersebut menjadi pemicu utama. Namun, pada akhirnya pihak otorita IKN sadar akan potensi kerugian lebih lanjut, dan mencabut surat edaran tersebut guna menghindari kemelut di masyarakat. Inilah yang kemudian membuat saya menganggap bahwa ini seperti dua sisi mata pisau.

Guna mengatasi konflik yang kompleks ini, penting bagi kita untuk merujuk pada peraturan yang ada, seperti Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Akan tetapi, jika berkaca pada kedua aturan tersebut, tentu akan menjadi masalah kompleks karena IKN sendiri merupakan daerah otorita yang dipimpin oleh seorang Kepala Otorita yakni Bambang Susantono. Yang dimana pengangkatan kepala otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) ditunjuk langsung oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).

Alhasil peran daripada baik itu Bupati maupun Gubernur kurang atau tidak diperlukan di sini, sehingga menjadi salah satu masalah sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwasanya tidak adanya payung hukum yang cukup jelas.

Surat edaran tertanggal 4 Maret yang dikeluarkan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN dengan nomor 179/DPP/OIKN/III/2024 perihal Undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN menjadi konteks penting dalam konflik permasalahan ini. Surat tersebut memberikan tenggat waktu 7 hari bagi warga untuk membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.

Share: Facebook Twitter Linkedin
March 28, 2024 | admin

JIAL – Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat

JIAL – Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat

JIAL | Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut justru berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah. Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.

Setidaknya terdapat dua masalah utama dalam konflik ini. Pertama, masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Kemudian pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada sebuah perusahaan atas tanah Batam. Namun, hingga sebelum konflik terjadi, tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor. Kedua, kewenangan atas pengelolaan lahan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Sayangnya, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas, hingga menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.

“Batam ini bertetangga dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dan juga memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK) yang memberikan insentif fiskal dan fasilitas bagi investor. Jadi, di sini ada semacam keuntungan kalau kita berdagang di Batam. Tidak pernah ada kejadian gempa juga di Batam, jadi orang mau berinvestasi di Batam itu merasa aman,” tambah Evan. Pulau Batam menawarkan peluang investasi yang besar, bahkan dijanjikan juga masyarakat akan diberdayakan sebagai tenaga kerja jika proyek Rempang Eco City ini dapat terwujud. Alhasil, masyarakat pun terbagi menjadi dua kubu, yaitu masyarakat adat yang benar-benar menentang pembangunan, dan masyarakat mayoritas pendatang yang justru setuju dengan proyek tersebut.

Jika menilik dari segi legalitas hukum akan pengelolaan lahan Batam dan Pulau Rempang, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 telah menjelaskan otorisasi tersebut dikutip dalam https://jial-apha.net/. Dijelaskan bahwa hak pengelolaan atas lahan Batam diberikan pada otoritas Batam (BP Batam) sepenuhnya untuk dibagikan pada pihak ketiga yang berperan mengelola tanah tersebut secara lebih lanjut. Pihak tersebut nantinya diwajibkan membayar hak guna lahan tersebut kepada pemerintah. Lalu, pada tahun 1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang pada otoritas Batam untuk dikelola dan memajukan industri Batam.

PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004

“Setelah itu, mulai masuklah PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004, di mana DPRD Batam itu memberikan rekomendasi, bahwa PT ini dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam. Dari rekomendasi ini, ada nota kesepakatan bahwa Pemerintah Batam setuju kalau PT. Makmur Elok Graha akan mengelola wilayah-wilayah di Batam, termasuk Rempang. Tapi perlu digarisbawahi, kesepakatan ini dinyatakan bahwa PT. MEG akan membangun pusat-pusat hiburan, perkantoran, permainan, yang berbeda dengan wacana sekarang,” ucap Reggy Dio Geo Fanny, selaku Penasehat Hukum yang turut mengulik Konflik Rempang ini.

Ia menambahkan, sempat ada usaha pemisahan otoritas Kota Batam dengan pulau tua, seperti Rempang dari otoritas BP Batam oleh Walikota Batam. Tapi upaya tersebut tidak ada tindak lanjut, hingga pada tahun 2023 dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan adanya proyek pembangunan Eco City di Kepulauan Riau. Adanya legalitas tersebut mengisyaratkan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung sepenuhnya pembangunan proyek industri di Pulau Batam oleh PT. Makmur Elok Graha. “Tentu perlu diperhatikan pada ayat dua, dituliskan bahwa hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat, ditetapkan pada masyarakat hukum adat. Pertanyaannya, apakah masyarakat Batam tersebut merupakan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara. Dan apakah tanah tersebut juga diakui negara sebagai tanah ulayat,” tutur Reggy.

Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak terlibat. Karena di samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat. Pengakuan akan adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang.

Share: Facebook Twitter Linkedin